Jumat, 18 Mei 2012

Uang Dan Politik


Oleh Daud Rozak (Jubir Fraksi Rakyat)
Politik dan uang sebenarnya dua bahasan yang berlainan, namun dalam kehidupan politik saat ini jelas keduanya sangat terkait erat. Uang seperti dalam bidang kehidupan lainnya yang memiliki pengaruh besar, saat ini memainkan mekanisme politik prosedural yang sangat dominan di Indonesia.
Politik prosedural yang dimaksudkan seperti misalnya partai politik dan pemilu, bahkan juga dalam proses pembuatan kebijakan publik.
 Dominasi uang dalam mekanisme politik bisa terlihat dalam rekruitmen calon kepala daerah, dalam mekanisme sistem politik di negara demokrasi manapun selalu berasal dari partai politik.
Partai politik dalam konteks ini mengajukan calon pemimpin dalam melalui rekriutmen politik yang menjadi salah satu fungsinya. dalam mekanisme  ada faktor dominan yang memainkan proses politik utama yakni “uang”.
Dalam sistem demokrasi, apalagi dalam model demokrasi langsung saat ini yang cenderung melahirkan suatu kultur politik yang sangat kompetitif.
Dominasi Parpol dalam menentukan siapa yang akan diusung. Kenyataan di lapangan faktor “uang” menjadi sangat dominan dalam membuat hal-hal penting bagi calon dalam pemilihan, semisal power untuk menggenjot polularitas lewat kampanye, termasuk di dalamnya rangkaian kegiatan yang ada kaitannya dengan peningkatan popularitas. Hal ini juga tentunya termasuk membiayai tim sukses kampanyenya serta menyewa/membeli kendaraan politik.
 Mengapa uang sangat dominan?. Jawabannya adalah untuk membiayai semua kegiatan tersebut disetting membutuhkan uang. Tim sukses mana yang akan tetap loyal, jika calon yang diperjuangkannya tidak memiliki “uang cukup”. Jawabannya akan sangat jarang!.
 Kultur di Indonesia mekanisme para calon untuk mensosialisasikan visi dan misinya (peningkatan popularitas) dibebankan pada personal yang mencalonkan. Oleh karena itulah selalu  mereka yang mencalonkan harus orang yang mampu secara finansial, jikapun dari golongan menengah ke bawah mereka biasanya membiayai kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas dengan cara menghutang pada pihak lain.
Bagi mereka yang kurang mampu, namun memiliki lobi yang kuat dan jaringan dengan pengusaha biasanya mendapat donasi dari para pengusaha, walaupun dengan cara “menggadaikan” independensi personalnya.
 Secara kasat mata kebutuhan akan uang untuk seorang calon pengeluaran biasanya meliputi biaya kunjungan, biaya iklan, stiker, banner, kaos dan sebagainya.
Yang jelas dana kampanye untuk seorang Calon sangatlah mahal, minimal ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah. Biaya kampanye yang mahal ini telah menjadi mekanisme tersendiri dalam politik prosedural di Indonesia saat ini. Seolah-olah mereka yang ingin menjadi pemimpin harus memiliki modal besar atau kalah tidak dapat sponsor dari para pemodal atau jalan terakhir menjual hak milik sendiri seperti rumah sekalipun atau juga meminjam kepada pengusaha atau pihak lain.
Kebiasaan ini membentuk satu pola tersendiri dalam mekanisme politik prosedural yakni money centris mechanism. Tidak hanya sudah menjadi kesepakatan bagi subjek yang berkampanye dan tim sukses atau lingkungan pemerintahan, namun juga pola pikir masyarakat menjurus ke arah money centris. Para anggota dewan yang datang ke kampung atau desa mereka diterima dengan “diperas” dengan dalih untuk kepentingan umum, lebih parahnya lagi diperas untuk kepentingan personal belaka.
 Hal di atas yang menjadikan politik indonesia bagaikan tercengkram oleh uang. Kondisi ini kalau digambarkan bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk dihindari. Akibat terburuknya adalah pemimpin  yang terpilih menjadi rakus dan orientasi pasca dia terpilihpun terkonsentrasi pada bagaimana mengganti uang dan semua kekayaan yang sudah mereka keluarkan semasa kampanye.
Hal ini tentunya mengkhawatirkan, bahkan kemungkinan meningkatnya angka korupsi di tingkat pejabat dan legislatif akan semakin besar. Hal ini terjadi karena para  calon tersebut sudah habis-habisan mengeluarkan uangnya, bahkan dari hutang dan menjual rumah, mobil dan barang berharga lainnya.
 Diam ketika aspirasi rakyat dan kebutuhan banyak orang dipertaruhkan. Politisi yang tidak teruji dalam persoalan pengabdian dan kiprahnya di masyarakat (apapun bidang kehidupannya) kalaupun menang dalam pemilihan, hanya karena disebabkan backing uang yang kuat dan hanya akan melahirkan politisi yang karbitan, politik sebagai ajang “mencari uang”, bukan sebagai ajang pengabdian kepada negara.
Akibat yang sangat buruk adalah melahirkan politisi yang bermegah-megahan, jauh dari kehidupan rakyatnya yang serba kekuarangan, masa kampanye hanya dijadikan sebagai ajang jualan, kalau sudah laku, ditinggal begitu saja. Setelah mereka duduk ‘empuk’ di kursi kehormatan, mereka enggan untuk melihat, merasakan apalagi memperjuangkannya.
Karena yang mereka perjuangkan adalah gaji yang “melambung” dan kedudukan. Mereka akan respek jika pembahasan dalam lembaganya menyangkut kepentingan mereka semisal kenaikan gaji, selain itu mereka enggan dan malas untuk membahasnya. Masikah anda mau tertipu selama lima tahun mendatang?(*)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=11855

Tidak ada komentar:

Posting Komentar