Oleh Daud Rozak (Jubir Fraksi Rakyat)
Politik dan uang sebenarnya dua bahasan
yang berlainan, namun dalam kehidupan politik saat ini jelas keduanya
sangat terkait erat. Uang seperti dalam bidang kehidupan lainnya yang
memiliki pengaruh besar, saat ini memainkan mekanisme politik prosedural
yang sangat dominan di Indonesia.
Politik prosedural yang dimaksudkan
seperti misalnya partai politik dan pemilu, bahkan juga dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
Dominasi uang dalam mekanisme politik
bisa terlihat dalam rekruitmen calon kepala daerah, dalam mekanisme
sistem politik di negara demokrasi manapun selalu berasal dari partai
politik.
Partai politik dalam konteks ini
mengajukan calon pemimpin dalam melalui rekriutmen politik yang menjadi
salah satu fungsinya. dalam mekanisme ada faktor dominan yang memainkan
proses politik utama yakni “uang”.
Dalam sistem demokrasi, apalagi dalam
model demokrasi langsung saat ini yang cenderung melahirkan suatu kultur
politik yang sangat kompetitif.
Dominasi Parpol dalam menentukan siapa
yang akan diusung. Kenyataan di lapangan faktor “uang” menjadi sangat
dominan dalam membuat hal-hal penting bagi calon dalam pemilihan,
semisal power untuk menggenjot polularitas lewat kampanye, termasuk di
dalamnya rangkaian kegiatan yang ada kaitannya dengan peningkatan
popularitas. Hal ini juga tentunya termasuk membiayai tim sukses
kampanyenya serta menyewa/membeli kendaraan politik.
Mengapa uang sangat dominan?.
Jawabannya adalah untuk membiayai semua kegiatan tersebut disetting
membutuhkan uang. Tim sukses mana yang akan tetap loyal, jika calon yang
diperjuangkannya tidak memiliki “uang cukup”. Jawabannya akan sangat
jarang!.
Kultur di Indonesia mekanisme para
calon untuk mensosialisasikan visi dan misinya (peningkatan popularitas)
dibebankan pada personal yang mencalonkan. Oleh karena itulah selalu
mereka yang mencalonkan harus orang yang mampu secara finansial, jikapun
dari golongan menengah ke bawah mereka biasanya membiayai
kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas dengan cara menghutang pada pihak
lain.
Bagi mereka yang kurang mampu, namun
memiliki lobi yang kuat dan jaringan dengan pengusaha biasanya mendapat
donasi dari para pengusaha, walaupun dengan cara “menggadaikan”
independensi personalnya.
Secara kasat mata kebutuhan akan uang
untuk seorang calon pengeluaran biasanya meliputi biaya kunjungan, biaya
iklan, stiker, banner, kaos dan sebagainya.
Yang jelas dana kampanye untuk seorang
Calon sangatlah mahal, minimal ratusan juta bahkan sampai miliaran
rupiah. Biaya kampanye yang mahal ini telah menjadi mekanisme tersendiri
dalam politik prosedural di Indonesia saat ini. Seolah-olah mereka yang
ingin menjadi pemimpin harus memiliki modal besar atau kalah tidak
dapat sponsor dari para pemodal atau jalan terakhir menjual hak milik
sendiri seperti rumah sekalipun atau juga meminjam kepada pengusaha atau
pihak lain.
Kebiasaan ini membentuk satu pola
tersendiri dalam mekanisme politik prosedural yakni money centris
mechanism. Tidak hanya sudah menjadi kesepakatan bagi subjek yang
berkampanye dan tim sukses atau lingkungan pemerintahan, namun juga pola
pikir masyarakat menjurus ke arah money centris. Para anggota dewan
yang datang ke kampung atau desa mereka diterima dengan “diperas” dengan
dalih untuk kepentingan umum, lebih parahnya lagi diperas untuk
kepentingan personal belaka.
Hal di atas yang menjadikan politik
indonesia bagaikan tercengkram oleh uang. Kondisi ini kalau digambarkan
bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk dihindari. Akibat terburuknya
adalah pemimpin yang terpilih menjadi rakus dan orientasi pasca dia
terpilihpun terkonsentrasi pada bagaimana mengganti uang dan semua
kekayaan yang sudah mereka keluarkan semasa kampanye.
Hal ini tentunya mengkhawatirkan, bahkan
kemungkinan meningkatnya angka korupsi di tingkat pejabat dan
legislatif akan semakin besar. Hal ini terjadi karena para calon
tersebut sudah habis-habisan mengeluarkan uangnya, bahkan dari hutang
dan menjual rumah, mobil dan barang berharga lainnya.
Diam ketika aspirasi rakyat dan
kebutuhan banyak orang dipertaruhkan. Politisi yang tidak teruji dalam
persoalan pengabdian dan kiprahnya di masyarakat (apapun bidang
kehidupannya) kalaupun menang dalam pemilihan, hanya karena disebabkan
backing uang yang kuat dan hanya akan melahirkan politisi yang karbitan,
politik sebagai ajang “mencari uang”, bukan sebagai ajang pengabdian
kepada negara.
Akibat yang sangat buruk adalah
melahirkan politisi yang bermegah-megahan, jauh dari kehidupan rakyatnya
yang serba kekuarangan, masa kampanye hanya dijadikan sebagai ajang
jualan, kalau sudah laku, ditinggal begitu saja. Setelah mereka duduk
‘empuk’ di kursi kehormatan, mereka enggan untuk melihat, merasakan
apalagi memperjuangkannya.
Karena yang mereka perjuangkan adalah
gaji yang “melambung” dan kedudukan. Mereka akan respek jika pembahasan
dalam lembaganya menyangkut kepentingan mereka semisal kenaikan gaji,
selain itu mereka enggan dan malas untuk membahasnya. Masikah anda mau
tertipu selama lima tahun mendatang?(*)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=11855