Selasa, 29 Mei 2012

Muslikh: Idealnya Birokrat-Politisi

Pasangan Kepala Daerah

Muslikh Abdussyukur
SUKABUMI – Walikota Sukabumi Muslikh Abdussyukur mempunyai penilaian tersendiri mengenai Pemilukada Kota Sukabumi 2013 mendatang. Ia menilai sejumlah figur yang mencuat saat ini memiliki kekuatan dari sisi popularitas dan kapasitas yang nyaris berimbang.
Apalagi dari sisi latar belakang, Muslikh melihat adanya kecenderungan perimbangan dari kalangan politisi dan birokrat. Kondisi ini, kata Walikota Sukabumi dua periode terakhir itu akan membuat pertarungan di pemilukada akan berjalan ketat. “Kalau melihat konstalasi politik sekarang, sepertinya akan berjalan ketat,” katanya.
 Muslikh bahkan berani menyebut setidaknya akan ada empat pasangan calon walikota yang akan bertarung di pemilukada nanti. Namun, Muslikh tidak mau menyebut siapa-siapa figur yang ada dalam prediksinya itu. “Tapi saya kira kualitas empat pasangan itu nantinya akan berimbang,” katanya.
 Lebih jauh ditanya soal pasangan ideal memimpin Kota Sukabumi. Muslikh yang punya pengalaman memimpin Kota Sukabumi satu periode bersama politisi (Iwan Kustiawan) dan satu periode dengan birokrat (Mulyono), memiliki komposisi ideal.
Menurutnya, idealnya pasangan Walikota dan Wakil Walikota Sukabumi adalah dari kalangan birokrat dan politisi
“Waktu bersama Pak Iwan (Wakil Walikota Sukabumi 2003-2008) saya merasa enjoy. Tapi saat ini juga (Mulyono) bagus,” jelasnya.   Makanya, berdasarkan pengalaman bersama dua pemimpin berbeda latar belakang di dua periode berbeda itu, Muslikh yang berlatar belakang birokrat menganggap pasangan birokrat dan politisi lebih ideal.
“Kalau saya melihat yang ideal itu birokrat berpasangan politisi,” imbuh Muslikh.
 Meski Muslikh melihat adanya perimbangan kekuatan figur-figur yang akan maju di pesta demokrasi nanti, namun Ia berharap pemilukada ini berlangsung cukup satu putaran. Hal ini tidak lain disebabkan Muslikh berharap adanya penghematan biaya. “Kalau dua putaran kan biaya bertambah. Mudah-mudahan bisa satu putaran,” harapnya.(fkr)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=12744

Jumat, 18 Mei 2012

Sanusi Masih Kader Golkar

Resmi Dilantik Menjadi Ketua Umum Ormas MKGR

Sukabumi - Ketua DPD Partai Golkar Kota Sukabumi, Andri Setiawan Hammami menyebutkan mantan Kepala Dinas Pendidikan, Sanusi Hardjadireja masih tercatat sebagai kadernya. Hal itu terbukti saat pelantikan pengurus DPC Ormas MKGR Kota Sukabumi periode 2012 – 2017. Sanusi resmi dilantik menjadi ketua umum ormas yang mendirikan Partai Golkar ini di Gedung Islamic Center, Selasa (15/5) kemarin.
Penegasan itu disampaikan Andri menjawab pertanyaan wartawan mengenai polemik keanggotaan partai politik yang dimiliki Sanusi. Sebab Sanusi dikabarkan telah bergabung ke Partai Amanat Nasional (PAN) hingga akhirnya ditetapkan menjadi bakal calon Walikota. Di sisi lain sejumlah tokoh MKGR mengklaim ormasnya merupakan bagian dari Partai Golkar.
”Pak Uci (panggilan Sanusi, red) memang telah ditetapkan sebagai calon Walikota usungan PAN. Namun dia masih sebagai kader Partai Golkar. Bagi kami tidak keberatan. Justru hal ini akan terpulang kepada pengurus PAN sendiri,” kata Andri.
Menurut Andri, MKGR merupakan ormas yang mendirikan Partai Golkar. Sehingga hubungan sejarah antara MKGR dengan Partai Golkar satu sama lain saling terkait. Bahkan MKGR di bawah kepemimpinan Sanusi harus bisa mencontoh kiprah Partai Golkar yang sudah mempu mengasuransikan para anggotanya.
Pernyataan yang hampir sama disampaikan Ketua DPD MKGR Jawa Barat, Tony Apriliani. Mantan anggota DPR RI ini justru mendorong setiap kader MKGR bisa merebut posisi terhormat di lingkungan Pemerintah Daerah. Hanya saja kader MGKR tetap harus ikut membesarkan organisasi dan tidak lupa pada jatidirinya sebagai ormas pendiri Partai Golkar.
”Pak Uci juga masuk dalam daftar bakal calon Walikota yang sedang dijaring Partai Golkar. Apabila lolos, bisa saja Pak Uci diusung Partai Golkar yang selanjutnya akan berkoalisi dengan PAN,” kata Tony.
Sementara itu Ketua DPP MKGR, Priyo Budi Santoso yang hadir dalam acara pelantikan mengingatkan kembali catatan sejarah mengenai kelahiran Partai Golkar. Menurut Priyo, Partai Golkar lahir atas gagasan MKGR empat tahun sebelum terbentuknya Sekretariat Bersama (Sekber). Sehingga hubungan antara MKGR dengan Partai Golkar sulit dibedakan.
”MKGR dengan Partai Golkar ibaratnya seperti daun sirih. Jika dibalik pasti ada perbedaan. Tetapi jika digigit rasanya pasti sama,” tandas politisi DPP Partai Golkar ini.
Di lain pihak, sejumlah pengurus Partai Amanat Nasional (PAN) membenarkan Sanusi telah menjadi kader partai berlambang matahari ini. Salah satu buktinya Uci telah memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) PAN saat mendaftarkan sebagai bakal calon Walikota. Hanya saja beberapa pengurus PAN menganggap hati Sanusi masih berada di Partai Golkar.
Jurnal Bogor

Pelantikan DPC MKGR Kota Sukabumi





CIKOLE – Lunturnya rasa gotong royong dan nasionalisme menjadi tugas penting bagi Ormas Musayawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) Kota Sukabumi. Rasa gotong royong dan keluargaaan sendiri merupakan asas Nasionalisme yang tidak bisa dihilangkan. Ormas MKGR harus memiliki warna dan kadernya mempunyai identitas diri dan menjadikan MKGR sebagai pusat inspirasi. Hal inilah yang akan dilakukan kedepan oleh MKGR Kota Sukabumi. “Jangan sampai organisasi ini hanya menjadi tempat ngobrol-ngobrol dan pengumpulan massasaja. Apalagi sampai berbuat anarkis. Jaga citra positif MKGR di masyarakat, karena kadernya merupakan orang-orang pilihan,” kata Ketua DPP MKGR, Priyo Budi Santoso, kemarin
 Ia berharap MKGR akan memberikan sebuah corak identitas bangsa di Kota Sukabumi ini,  meningkatkan sistem kaderisasi untuk mengembakan organisasi. “MKGR Kota Sukabumi  harus memberikan sumbangsih nyata bahwa tahun 2012 adalah tahun karya kekaryaan. Tiada hari tanpa karya,” harap Priyo.
 Sementara itu Ketua DPC Ormas MKGR Kota Sukabumi Sanusi Hardja Diredja mengatakan, Ormas MKGR di Kota Sukabumi yang sempat mati selama tiga tahun akan membuat sebuah terobosan dengan membangun Kota Sukabumi dalam kebersamaan dan gotong royong. “Kami betekad akan membangun Kota Sukabumi dengan mengedepankan musyawarah dan kebersamaan. MKGR merupakan Ormas sehingga saipapun bisa berkiprah baik PNS maupun TNI dan Polri,” jelas Sanusi.
 Dengan dilantiknya 48 kepengurusan DPC Ormas MKGR Kota Sukabumi jangan hanya dijadikan seremoni. Sanusi mengajak kepada seluruh jajarannya untuk terus mengibarkan asas MKGR yakni Panca Moral, gotong royong dan kebersamaan. “Kepengurusan ini jangan hanya gebyar saja, kita bangun kesuksesan MKGR dengan mulai diri sendiri dalam membangun kebersamaan,” pungakasnya.(fkr)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=11785

Uang Dan Politik


Oleh Daud Rozak (Jubir Fraksi Rakyat)
Politik dan uang sebenarnya dua bahasan yang berlainan, namun dalam kehidupan politik saat ini jelas keduanya sangat terkait erat. Uang seperti dalam bidang kehidupan lainnya yang memiliki pengaruh besar, saat ini memainkan mekanisme politik prosedural yang sangat dominan di Indonesia.
Politik prosedural yang dimaksudkan seperti misalnya partai politik dan pemilu, bahkan juga dalam proses pembuatan kebijakan publik.
 Dominasi uang dalam mekanisme politik bisa terlihat dalam rekruitmen calon kepala daerah, dalam mekanisme sistem politik di negara demokrasi manapun selalu berasal dari partai politik.
Partai politik dalam konteks ini mengajukan calon pemimpin dalam melalui rekriutmen politik yang menjadi salah satu fungsinya. dalam mekanisme  ada faktor dominan yang memainkan proses politik utama yakni “uang”.
Dalam sistem demokrasi, apalagi dalam model demokrasi langsung saat ini yang cenderung melahirkan suatu kultur politik yang sangat kompetitif.
Dominasi Parpol dalam menentukan siapa yang akan diusung. Kenyataan di lapangan faktor “uang” menjadi sangat dominan dalam membuat hal-hal penting bagi calon dalam pemilihan, semisal power untuk menggenjot polularitas lewat kampanye, termasuk di dalamnya rangkaian kegiatan yang ada kaitannya dengan peningkatan popularitas. Hal ini juga tentunya termasuk membiayai tim sukses kampanyenya serta menyewa/membeli kendaraan politik.
 Mengapa uang sangat dominan?. Jawabannya adalah untuk membiayai semua kegiatan tersebut disetting membutuhkan uang. Tim sukses mana yang akan tetap loyal, jika calon yang diperjuangkannya tidak memiliki “uang cukup”. Jawabannya akan sangat jarang!.
 Kultur di Indonesia mekanisme para calon untuk mensosialisasikan visi dan misinya (peningkatan popularitas) dibebankan pada personal yang mencalonkan. Oleh karena itulah selalu  mereka yang mencalonkan harus orang yang mampu secara finansial, jikapun dari golongan menengah ke bawah mereka biasanya membiayai kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas dengan cara menghutang pada pihak lain.
Bagi mereka yang kurang mampu, namun memiliki lobi yang kuat dan jaringan dengan pengusaha biasanya mendapat donasi dari para pengusaha, walaupun dengan cara “menggadaikan” independensi personalnya.
 Secara kasat mata kebutuhan akan uang untuk seorang calon pengeluaran biasanya meliputi biaya kunjungan, biaya iklan, stiker, banner, kaos dan sebagainya.
Yang jelas dana kampanye untuk seorang Calon sangatlah mahal, minimal ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah. Biaya kampanye yang mahal ini telah menjadi mekanisme tersendiri dalam politik prosedural di Indonesia saat ini. Seolah-olah mereka yang ingin menjadi pemimpin harus memiliki modal besar atau kalah tidak dapat sponsor dari para pemodal atau jalan terakhir menjual hak milik sendiri seperti rumah sekalipun atau juga meminjam kepada pengusaha atau pihak lain.
Kebiasaan ini membentuk satu pola tersendiri dalam mekanisme politik prosedural yakni money centris mechanism. Tidak hanya sudah menjadi kesepakatan bagi subjek yang berkampanye dan tim sukses atau lingkungan pemerintahan, namun juga pola pikir masyarakat menjurus ke arah money centris. Para anggota dewan yang datang ke kampung atau desa mereka diterima dengan “diperas” dengan dalih untuk kepentingan umum, lebih parahnya lagi diperas untuk kepentingan personal belaka.
 Hal di atas yang menjadikan politik indonesia bagaikan tercengkram oleh uang. Kondisi ini kalau digambarkan bagaikan lingkaran setan yang sulit untuk dihindari. Akibat terburuknya adalah pemimpin  yang terpilih menjadi rakus dan orientasi pasca dia terpilihpun terkonsentrasi pada bagaimana mengganti uang dan semua kekayaan yang sudah mereka keluarkan semasa kampanye.
Hal ini tentunya mengkhawatirkan, bahkan kemungkinan meningkatnya angka korupsi di tingkat pejabat dan legislatif akan semakin besar. Hal ini terjadi karena para  calon tersebut sudah habis-habisan mengeluarkan uangnya, bahkan dari hutang dan menjual rumah, mobil dan barang berharga lainnya.
 Diam ketika aspirasi rakyat dan kebutuhan banyak orang dipertaruhkan. Politisi yang tidak teruji dalam persoalan pengabdian dan kiprahnya di masyarakat (apapun bidang kehidupannya) kalaupun menang dalam pemilihan, hanya karena disebabkan backing uang yang kuat dan hanya akan melahirkan politisi yang karbitan, politik sebagai ajang “mencari uang”, bukan sebagai ajang pengabdian kepada negara.
Akibat yang sangat buruk adalah melahirkan politisi yang bermegah-megahan, jauh dari kehidupan rakyatnya yang serba kekuarangan, masa kampanye hanya dijadikan sebagai ajang jualan, kalau sudah laku, ditinggal begitu saja. Setelah mereka duduk ‘empuk’ di kursi kehormatan, mereka enggan untuk melihat, merasakan apalagi memperjuangkannya.
Karena yang mereka perjuangkan adalah gaji yang “melambung” dan kedudukan. Mereka akan respek jika pembahasan dalam lembaganya menyangkut kepentingan mereka semisal kenaikan gaji, selain itu mereka enggan dan malas untuk membahasnya. Masikah anda mau tertipu selama lima tahun mendatang?(*)
Short URL: http://radarsukabumi.com/?p=11855